Kita adalah Euis di Keluarga Cemara
10:28 PM
Ini adalah tulisan ke-12 dari rangkaian cerita Vindia. Tulisan sebelumnya bisa kamu baca di sini.
12 Januari 2019.
Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Mataku masih enggan untuk terpejam. Dalam hati berkata, mengapa di akhir pekan harus insomnia? Aku butuh tidur wkwk
Akhirnya waktu dini hari, ku habiskan untuk nonton drama di Netflix. Alhamdulillah ya bisa jajal premium.
Pagi harinya, seperti jadwal mingguan. Aku berkegiatan semestinya hari liburku. Akhir pekan kali ini begitu dinanti lantaran seminggu kemarin merasa telah bekerja keras. Sampai-sampai partner weekend dan pagi hari punya perasaan yang sama.
I proud to my self. Because of stay healthy. However the rain comes over and over. The wind blows up. Hahaha
Berbeda dari akhir pekan sebelumnya, aku sengaja meluangkan waktu untuk keluar. Rencana pertama adalah nonton. Film yang dipilih adalah Keluarga Cemara.
Sayangnya, sebelum nonton film. Aku sudah kena spoiler dari artikel yang ku edit di kantor. Tapi tapi nggak mengurangi rasa hangat di film.
Nggak ingat betul jalan cerita serial TV Keluarga Cemara. Aku kayaknya dulu jarang nonton TV. Dalam ingatanku cuma rumah yang ada empangnya dan dua saudara yang jualan opak. Selebihnya nggak inget hehe
Film dibuka dengan adegan lomba dance si sulung bernama Euis (Zara JKT48) dan diikuti dengan konflik-konflik yang dialami keluarganya. Film karya Yandy Laurens (kalau nggak salah sebut) ini begitu menyentuh. Beberapa kali dibuat ‘mbrambangi’ oleh adegan dan situasi yang terjadi dalam film.
Beberapa adegan sangat mengena karena aku sendiri pun mengalaminya. Pengalaman Euis di film berasa aku banget meskipun nggak 100 persen. Masa remaja yang penuh gejolak benar-benar pernah dialami remaja lainnya di luar sana.
Contohnya: mengalami masa haid pertama dengan kondisi tembus. Kayaknya sering banget dialami anak SMP-SMA tiap generasi. Apalagi kalau udah hari Senin dengan seragam serba putih.
Kedua, pernah merasa marah dengan orangtua karena keinginan kita nggak dipenuhi. Remaja-remaja sering punya keinginan tapi sering mendapat larangan. Suka kesel sendiri. Padahal besok kalau udah nambah umur baru tahu maksud orangtua itu baik.
Ketiga, mengalami perubahan lingkungan sekolah. Euis yang semula sekolah di Jakarta dengan fasilitas oke, harus melanjutkan sekolahnya di Bogor dengan akses seadanya. Aku juga mengalaminya meskipun berbeda kasus.
Saat SMP, aku bersekolah di sekolah swasta. Dengan fasilitas dan kegiatan yang beragam. Semua akses rasanya mudah untuk dilakukan. Kemudian SMA masuk di sekolah negeri pinggiran. Meski pinggiran, prestasi dan akreditasi sekolah cukup oke. Cuma dari segi fasilitas ya standar sekolah biasa. Beda dengan fasilitas di swasta.
Dari dulu selalu menekankan, “sekolah di mana aja itu sama aja. Yang penting itu orangnya.”
Keempat, persahabatan.
Berbeda dengan Euis, aku menemukan teman-teman yang super baik di SMP maupun SMA. Teman dari sekolahku sampai sekarang masih keep in touch. Walaupun jarang ketemu, kita tetap bisa ngobrol panjang lebar sekalinya bertemu.
Kelima, masalah keluarga.
Tidak dinafikan bahwa setiap keluarga memiliki masalah. Ada beberapa orangtua yang memilih menyimpan rapat masalah demi kebahagiaan anaknya. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi pendidikan anak-anaknya.
Teringat pesan mama beberapa hari lalu. Aku mengucapkan terima kasih karena telah berjuang memenuhi kebutuhan anaknya hingga bangku kuliah. Teringat perjuangan beliau yang super duper kuat.
“Sama2 nok. itu udh tugas mama. sayang mama kpd anak2e tu 100% n tdk ada batase koq nok,” pesan mama.
Ambil contoh si Emak yang berusaha bantu ekonomi keluarga lewat jualan opak. Sesusah apapun masalah keluarga, orangtua selalu menaruh prioritas utama pada anak-anaknya. Mereka sampai lupa tentang diri mereka sendiri. Huhuhu aku jadi sedih sendiri.
“Kalian semua itu tanggung jawab abah,” kata Abah.
Paling ngena adalah percakapan yang keluar dari Euis.
Abah, kamu nggak sendirian kok. Jangan merasa semua beban abah yang tanggung. Keluarga itu terdiri lebih dari satu orang.
Keenam, ulang tahun nggak berkesan jika hanya seremonial. Makna ulang tahun bukan lagi pertambahan angka. Tetapi lebih kepada rasa syukur karena masih dikelilingi orang tersayang. Kebersamaan jadi barang langka ketika sudah dewasa.
Terakhir, kita adalah Ara.
Di akhir film benar-benar menyentuh sanubari. Kita adalah Ara~
Sering kali dianggap tak berguna dan kerap diabaikan keberadaannya. Sampai-sampai tangis dan rasa sedih nggak bisa lagi ditutupi. Rasa terasing untuk sementara jadi teman. Sediiiiiih aku nontonnya huhuhuhu..
0 comments