"Vin, sabtu selo ngga? Temenin aku yuk, ada anak u* mau main ke Jogja."
Sebuah pesan mendarat di personal chatku. Saya pun membalas pesan tersebut, "selo, tapi kalau malam ngga bisa. Gimana?" Jawabku.
Temanku pun membalas, "iya ntar bilang aja." Keesokan harinya, saya melakukan pertemuan dengan temanku. Setelah berkenalan dan bercerita satu sama lain, kami pun merencanakan perjalanan singkat di Jogja.
Waktu yang tersisa semakin sedikit. Semburat senja mulai menampakkan dirinya. Akhirnya, perjalanan ini menuju ke sekitaran kota, seperti Titik nol kota Yogyakarta, Malioboro, Alun-alun kidul, dan Masjid Kauman.
Lokasi pertama, seputaran Malioboro. Kami menyasar langsung ke titik nol yang dekat dengan Benteng Vredeburg. Sabtu sore, Malioboro dipadati oleh puluhan hingga ratusan orang berlalu lalang. Pemandangan yang cukup membuat saya pusing. Orang berjalan dan berlalu lalang di depan saya. Sempit, padat, dan menggelikan, bagiku.
Sebenarnya saya bukan membahas tentang parnonya-saya dengan tempat padat dan sempit. Namun demikian, saya menyoroti pada apa yang terjadi selama di Titik nol itu.
Sebuah pesan mendarat di personal chatku. Saya pun membalas pesan tersebut, "selo, tapi kalau malam ngga bisa. Gimana?" Jawabku.
Temanku pun membalas, "iya ntar bilang aja." Keesokan harinya, saya melakukan pertemuan dengan temanku. Setelah berkenalan dan bercerita satu sama lain, kami pun merencanakan perjalanan singkat di Jogja.
Waktu yang tersisa semakin sedikit. Semburat senja mulai menampakkan dirinya. Akhirnya, perjalanan ini menuju ke sekitaran kota, seperti Titik nol kota Yogyakarta, Malioboro, Alun-alun kidul, dan Masjid Kauman.
Lokasi pertama, seputaran Malioboro. Kami menyasar langsung ke titik nol yang dekat dengan Benteng Vredeburg. Sabtu sore, Malioboro dipadati oleh puluhan hingga ratusan orang berlalu lalang. Pemandangan yang cukup membuat saya pusing. Orang berjalan dan berlalu lalang di depan saya. Sempit, padat, dan menggelikan, bagiku.
Sebenarnya saya bukan membahas tentang parnonya-saya dengan tempat padat dan sempit. Namun demikian, saya menyoroti pada apa yang terjadi selama di Titik nol itu.
Lihatlah, semua penuh sesak oleh orang. Bagi orang yang lelah berjalan, rasanya agak sulit mencari tempat beristirahat sejenak. Pasalnya, tiap akhir pekan-Malioboro menjadi salah satu tempat melepas penat. Ramai orang datang ke Malioboro, terutama titik nol. Situasi tersebut ditangkap sebagai peluang oleh beberapa orang. Peluang untuk mencari pundi-pundi keuangan. Sebagian besar mereka menawarkan jasa foto bersama badut atau atribut penunjang nan epik untuk foto. Ditambah latar titik nol yang sangat artsy.
Beberapa lokasi strategis dijadikan lapak bagi penjaja jasa. Hingga saya sendiri, mengalami pengusiran tempat istirahat sejenak. Jadi ceritanya, saya dan teman (kami) ingin mengambil foto berlatar titik nol. Bukan hanya itu, saya juga beristirahat sejenak sembari memandang sekeliling. Eh, tahunya kami diusir oleh seorang penjual jasa foto. Karena baginya, kami mengambil lapak mereka.
Seolah semua lokasi telah paten untuk mereka. Bagi yang ingin berdiri di lokasi-yang-mereka-anggap-strategis, kami harus membayar se-ikhlasnya. Batinku, "ini kan public space. Siapa aja boleh dong di sini." Tapi lihat yang terjadi, mulai ada batas-batas tak kasat mata. Padahal ada petugas juga, tapi jadi lumrah hehe.
Selain itu, orang yang berlalu lalang itu terdiri atas berbagai kalangan. Tua, muda, hingga anak-anak tumpah di Titik nol. Ramai. Perokok aktif santai merokok di tengah banyak perokok pasif. Sedih saya lihatnya, apalagi bagi perokok pasif di sana. Hiks, mbok ditahan dulu.
Itu sih, yang saya rasakan. Suatu sore di titik nol. :")
Xoxo