Ini tulisan ke-27 dari kumpulan Cerita Vindia di tahun 2019. Sebelumnya, kamu bisa baca tulisan lain di sini
27 Januari 2019
Tulisan kali ini terinspirasi dari podcast Menjadi Manusia.
Sejak minggu kemarin, aku mulai mengikuti beberapa podcast baru. Kebanyakan dari dalam negeri dengan tema beragam. Ada tentang politik dunia atau Indonesia, ekonomi, sampai self reminder yang isinya lebih personal.
Nggak cuma itu, Instagram yang sebelumnya doyan follow toko online—sekarang diarahkan ke hal yang positif. Aku mengikuti beberapa influencer—sebutan mereka tentang mental health, parenting, sampai isu lingkungan. Dari mereka, aku banyak menemukan hal baru. Sampai-sampai latah pengen berkebun, masak resep, dan lain-lain.
Sejak beberapa tahun ke belakang, isu kesehatan mental memang lagi gencar dikampanyekan. Kecenderungan orang sekarang mudah stress bahkan depresi dengan tuntutan perkembangan zaman atau lingkungan sehari-hari. Gejala yang sering dialami di antaranya sulit tidur hingga menggangu aktivitas. Beberapa nggak kasat mata, beda dengan definisi ‘sakit fisik’.
Teringat obrolan Wisnu Kumoro di podcast-nya yang intinya, orang sakit mental (stress atau depresi) dalam artian bukan sakit menular, kalau di kantor orang jarang ada yang menyarankan untuk pulang. Beda halnya dengan rekan kerja yang sakit flu, pasti banyak saran untuk balik aja daripada kerja tambah parah.
Ternyata, hal senada juga pernah diutarakan psikiater Dr. Andri di Twitternya. Psikiater alumni Kedokteran UI ini menyebut banyak pasien yang menderita kecemasan dan berobat dengan asuransi masing-masing. Pihak asuransi tak serta merta menerima analisis dari dokter tentang ‘penyakit kecemasan’. Mereka menanyakan ulang diagnosis dalam segi istilah medis. Kalau tidak, klaim asuransi nggak bisa diterima.
Padahal, dari mental yang tidak sehat bisa memengaruhi fisik. Oke taruhlah, fisik oke. Masih bisa ke kantor dan mengerjakan tugas tapi tapi kita nggak tahu—sebenernya mereka sedang melawan dirinya agar terlihat baik-baik saja.
Kadang kita lupa untuk menjadi manusia secara individu. Kita lupa akan cinta pada diri sendiri. Kalau dulu orang menyebut, “narsis amat lu!” Ketika kita membanggakan diri sendiri—padahal sekarang lagi ramai dikampanyekan. Orang menyebutnya dengan self love. Mencintai diri sendiri terdengar sepele tapi nyatanya nggak mudah mengerti keinginan hati.
Jika saja kamu mau, kamu pasti bisa memprioritaskan diri sendiri. Tapi kadang kamu memilih menempatkannya pada urutan kesekian. Kamu ingat ada kata egois dalam hidup. Kamu memilih untuk tidak egois. Tidak salah memang. Hanya saja kamu jadi lupa kebahagiaan dirimu.
“Asal kau bahagia. Aku udah bahagia,” sering mendengar kata-kata itu—adalah wajar.
Jika saja kamu mau. Kamu bisa mengubahnya yuk cari titik tengah untuk sama-sama bahagia. Kita dua individu yang punya definisi bahagia berbeda. Jika saja kamu mau lebih memahami, semua bisa dijalani.
Kecenderungan orang sekarang gampang stress karena tuntutan, media sosial, dan aktivitasnya. Nggak sedikit juga yang sampai meminta pertolongan ahli baik psikolog maupun psikiater. Di samping itu, banyak pula referensi buku tentang tema mental issue seperti self love.
Secara nggak langsung kampanye self love itu membuat kita untuk egois (dalam arti baik). Bodo amat dengan orang lain dan hal-hal yang merisaukan. Beberapa buku masuk kantong belanja karena merasa berhubungan dengan apa yang aku alami. Dari beberapa buku, ada yang cocok tapi sebagian lainnya cukup dibaca beberapa halaman lalu tutup.
Jika saja kamu mau, semua pilihan ada di kamu. Ingin memberi makan ego atau berdamai dengan ego?
27 Januari 2019
Tulisan kali ini terinspirasi dari podcast Menjadi Manusia.
Sejak minggu kemarin, aku mulai mengikuti beberapa podcast baru. Kebanyakan dari dalam negeri dengan tema beragam. Ada tentang politik dunia atau Indonesia, ekonomi, sampai self reminder yang isinya lebih personal.
Nggak cuma itu, Instagram yang sebelumnya doyan follow toko online—sekarang diarahkan ke hal yang positif. Aku mengikuti beberapa influencer—sebutan mereka tentang mental health, parenting, sampai isu lingkungan. Dari mereka, aku banyak menemukan hal baru. Sampai-sampai latah pengen berkebun, masak resep, dan lain-lain.
Sejak beberapa tahun ke belakang, isu kesehatan mental memang lagi gencar dikampanyekan. Kecenderungan orang sekarang mudah stress bahkan depresi dengan tuntutan perkembangan zaman atau lingkungan sehari-hari. Gejala yang sering dialami di antaranya sulit tidur hingga menggangu aktivitas. Beberapa nggak kasat mata, beda dengan definisi ‘sakit fisik’.
Teringat obrolan Wisnu Kumoro di podcast-nya yang intinya, orang sakit mental (stress atau depresi) dalam artian bukan sakit menular, kalau di kantor orang jarang ada yang menyarankan untuk pulang. Beda halnya dengan rekan kerja yang sakit flu, pasti banyak saran untuk balik aja daripada kerja tambah parah.
Ternyata, hal senada juga pernah diutarakan psikiater Dr. Andri di Twitternya. Psikiater alumni Kedokteran UI ini menyebut banyak pasien yang menderita kecemasan dan berobat dengan asuransi masing-masing. Pihak asuransi tak serta merta menerima analisis dari dokter tentang ‘penyakit kecemasan’. Mereka menanyakan ulang diagnosis dalam segi istilah medis. Kalau tidak, klaim asuransi nggak bisa diterima.
Padahal, dari mental yang tidak sehat bisa memengaruhi fisik. Oke taruhlah, fisik oke. Masih bisa ke kantor dan mengerjakan tugas tapi tapi kita nggak tahu—sebenernya mereka sedang melawan dirinya agar terlihat baik-baik saja.
Kadang kita lupa untuk menjadi manusia secara individu. Kita lupa akan cinta pada diri sendiri. Kalau dulu orang menyebut, “narsis amat lu!” Ketika kita membanggakan diri sendiri—padahal sekarang lagi ramai dikampanyekan. Orang menyebutnya dengan self love. Mencintai diri sendiri terdengar sepele tapi nyatanya nggak mudah mengerti keinginan hati.
Jika saja kamu mau, kamu pasti bisa memprioritaskan diri sendiri. Tapi kadang kamu memilih menempatkannya pada urutan kesekian. Kamu ingat ada kata egois dalam hidup. Kamu memilih untuk tidak egois. Tidak salah memang. Hanya saja kamu jadi lupa kebahagiaan dirimu.
“Asal kau bahagia. Aku udah bahagia,” sering mendengar kata-kata itu—adalah wajar.
Jika saja kamu mau. Kamu bisa mengubahnya yuk cari titik tengah untuk sama-sama bahagia. Kita dua individu yang punya definisi bahagia berbeda. Jika saja kamu mau lebih memahami, semua bisa dijalani.
Kecenderungan orang sekarang gampang stress karena tuntutan, media sosial, dan aktivitasnya. Nggak sedikit juga yang sampai meminta pertolongan ahli baik psikolog maupun psikiater. Di samping itu, banyak pula referensi buku tentang tema mental issue seperti self love.
Secara nggak langsung kampanye self love itu membuat kita untuk egois (dalam arti baik). Bodo amat dengan orang lain dan hal-hal yang merisaukan. Beberapa buku masuk kantong belanja karena merasa berhubungan dengan apa yang aku alami. Dari beberapa buku, ada yang cocok tapi sebagian lainnya cukup dibaca beberapa halaman lalu tutup.
Jika saja kamu mau, semua pilihan ada di kamu. Ingin memberi makan ego atau berdamai dengan ego?