...........Pada akhirnya, namaku di panggil Vindiasari. “Di ruang xx
ya, ini berkasnya nanti diserahkan ke pewawancara. Ikuti masnya yang itu ya,
nanti diarahin, kata seorang panitia.”..............
Masuklah
saya ke ruang wawancara. Saya mendapati beberapa meja tersebar di dalam
ruangan. Terjarak sama panjang antarmeja. Ada banyak peserta yang sedang
mengeluarkan kemampuan maksimalnya dalam menjawab pertanyaan. Terdengar bahasa
Inggris dari salah seorang peserta. Semua fokus pada apa yang di depannya. Pengamatan
sekilas pun harus segera diakhiri, karena panitia menunjukkan kursi kosong yang
siap untuk diduduki.
Kursi
kosong itu memang menjadi kursi untuk disinggahi para peserta wawancara. Kursi itu bukan sebuah ketakutan yang dihindari, namun sebuah kesempatan untuk
mencoba hal baru. Itulah yang saya pikirkan untuk menghindari ke-grogi-an dan
kegugupan yang berlebihan. Kursi kosong itu di hadapannya telah diisi oleh
seorang bapak berpakaian rapi. Ketika mata saling bertemu, seulas senyum
disunggingkan. Kemudian Bapak itu memberi isyarat silakan duduk. Saya pun duduk
di kursi kosong itu.
Berkas
pun saya berikan ke pewawancara. Pewawancara pun sibuk membaca berkas yang saya
berikan. Pewawancara membaca sekilas berkas tersebut, kemudian menyuruh saya
untuk memperkenalkan diri. Dengan senang hati, saya memperkenalkan diri. Saya
Vindi bla bla bla *out of record* untuk
konsumsi pribadi saja. Sesi perkenalan selesai. Kemudian sesi wawancara
dimulai.
Beberapa
rekaman samar-samar teringat di pikiran. Namun terdapat hal yang sangat-sangat
membekas di pikiran.
Ekspektasi awal dariku. Pewawancara akan langsung menggunakan bahasa Inggris. Nyatanya, dimulai dengan bahasa Indonesia kemudian dilanjutkan bahasa Inggris. Alhamdulillah bisa :’)Ekspektasi awal dariku, pewawancara akan menanyakan seputar pengetahuan program beasiswa BISMA dan printilannya. Realitanya, semua informasi yang ku peroleh hanya tersampaikan 25 persen saja. “Saya cerita pewawancara bahwa saya tidak mengetahui program beasiswa tersebut. Saya pun menceritakan apa saja yang saya lakukan hingga menemukan beberapa hal terkait beasiswa ini,” saya jujur sekali ya._.Ekspektasi awal dariku, pewawancara bersifat kaku. Namun nyatanya, wawancara ini cenderung seperti percakapan biasa. Obrolan antara teman, sahabat, atau kenalan. Entah aku sendiri yang merasakannya, atau memang pembawaan dari pewawancara santai. Saya akui, semua wawancara mengalir begitu saja, berbeda dengan wawancara yang saya lakukan ketika melakukan liputan untuk majalah kampus. Obrolan santai bukan berarti yang dibahas juga santai.
Saya salut dengan pewawancara, ia mengemas esensi obrolan
dengan sangat menyenangkan. Esensinya berat tapi disampaikan dengan gaya yang
santai dan sederhana. Tapi percayalah, saya sempat dihadapkan pada pertanyaan
yang sulit. Pewawancara terus mengali jawaban saya dengan pertanyaan yang sama
secara berulang. Pada akhirnya saya berpikir cukup lama untuk menjawab
pertanyaan itu.
Pewawancara (P) : Apa yang ingin kamu lakukan beberapa tahun
ke depan?
Saya (S) : Saya akan melakukan A.....
P :
Setelah A terlaksana, apa yang ingin kamu lakukan?
S :
Saya ingin B, tapi belum menjadi prioritas saya. Saya ingin melakukan C dulu.
P :
Setelah B/C terwujud, apa yang ingin kamu lakukan?
S :
saya ingin D....
P :
Setelah D terwujud, apa yang ingin kamu lakukan?
S :
saya pun menjawab keinginan saya yang sejauh ini saya impikan dan entah kapan
akan terwujud. Namun keinginan-keinginan itu habis....
Pewawancara terus
menanyakan hal itu. Saya pun kesulitan-lebih tepatnya saya nggak tahu keinginan
apa lagi yang harus saya lakukan di masa depan. Karena saya belum membayangkan
sampai sejauh itu. Hingga akhirnya saya menjawab sekena dan selintas saya
mengenai bayangan masa depan itu.
Baiklah saya belajar satu hal dari pertanyaan itu, rencanakan masa
depanmu, Vin.
Lanjut, hal yang masih saya ingat lainnya. Adalah ketika
saya merasa malu. Setelah mengobrol panjang, ............................
bersambung..............