Selamat jalan, Kung.
10:01 PM
Tujuh sepuluh.
Aku pikir hari ini akan jadi penuh kebahagiaan namun Tuhan berkata lain. Tepat di tanggal kelahiran Yogyakarta, duka justru menyelimuti.
Pagi itu, aku memiliki rencana untuk menghabiskan waktu di rumah. Bagaimana tidak? Aku hanya memiliki libur sehari yang biasa ku habiskan untuk mencuci pakaian.
Matahari sudah mulai muncul tapi aku masih enggan beranjak dari tempat tidur. Tiba-tiba tetangga datang mengabarkan berita duka. Ia menemui papaku seraya mengucapkan pemberitahuan yang membuatku turut menghela napas. Aku beranjak dari tempat tidur bergegas membuka handphone.
Ternyata ada rentetan misscall dari mama dan saudara-saudaraku. Mereka mengabarkan bahwa mbah kakung meninggal. Mendengar kabar tersebut rasanya setengah tak percaya. Sejenak merasa binggung dan linglung. Tiba-tiba aku mendapati diriku menangis di kamar. Setelah itu, aku mulai bergegas mandi dan berangkat ke rumah duka bersama papa.
***
Bendera putih, deretan kursi berjajar mengantarku ke rumah duka. Tak sedikit orang berpakaian serba hitam wara-wiri di dekat rumah tanteku. Aku tiba di rumah duka dengan posisi mbah kakung sudah dimandikan. Terbalut kain kafan dengan tutupan keranda kain hijau berlafalkan ayat suci Alquran.
Aku menyalami nenek dan saudaraku lain.Wajah mama dan tante, kedua anak perempuan mbah kakung tampak muram. Tak bisa menutupi rasa sedih kehilangan sosok bapak yang mendampinginya hingga dewasa. Bayangkan saja, mbah kakung tutup usia di 85 tahun. Sudah berpuluh-puluh tahun hidup bersama keluarganya. Pasti banyak pula kenangan pahit maupun manis yang membekas pada anak-anaknya.
Bukan cuma itu, aku dan cucunya saja punya banyak kenangan semasa hidup beliau. Aku bertekad nggak akan nangis lagi sepanjang prosesi pemakaman. Aku harus mengantarkan mbah kakung ke peristirahatan terakhirnya dengan ikhlas.
***
Seusai tiba di rumah duka, aku mengambil air wudhu untuk menyolatkan mbah kakung. Rasa sedih dan kehilangan muncul tapi lebih besar rasa syukur. "Akhirnya nggak sakit lagi ya, Kung? Sekarang udah bisa lega gerak bebas lagi. Sehat lagi, bugar lagi di sana," batinku memaksa berkata demikian.
Sebulan sebelum kepergian almarhum, aku mendapat telepon dari mama. Melalui telepon, mama bilang kalau mbah kakung mencariku. Menanyakan aku di mana? Rasanya hatiku teriris. Memang sudah lama aku tak mampir menjenguk karena memang belum ada waktu. Saat itu, aku sedang berada di sebuah tempat mengerjakan suatu hal. Setelah selesai, aku pun bergegas ke rumah tante.
Keluarga menanti kehadiranku yang saat itu baru bisa tiba sore hari. Ternyata sudah ramai oleh saudara-saudaraku lainnya. "Akhirnya cucu kesayangan mbah kung dateng," kata beberapa saudara.
Aku tiba, mbah kakung sedang tertidur lelap. Saat terbangun, aku menghampiri mbah kakung yang hanya bisa terbaring di tempat tidur. Tubuhnya semakin kurus. Makan pun tak mau. Rasanya sedih tapi aku enggan memperlihatkan tangis di depannya.
Aku coba berkomunikasi dengan beliau, "mbah kung. Kulo Zhazha."
Kedua mata yang semula enggan membuka perlahan terbuka. Ia melihat ke sekeliling termasuk ke arahku. Mama coba untuk membantu komunikasi dengan mbah kakung. Saat mata terbuka, mbah kakung tak lagi mencari ku. Ia hanya sesekali membuka mata lalu kembali terlelap.
Setidaknya, aku sudah bertemu dengan mbah kakung. Menemaninya sebentar dan melihatnya menyantap satu keping biskuit yang diencerkan oleh mama. Obrolan antara aku dan mbah kakung bersama mama membuat mamaku pecah tangis. Saat bersamaan, aku ingin menangiiiis.......
***
Tepat sebulan sebelum meninggal, aku sempat berfoto dengan almarhum. Ternyata itu jadi foto terakhirku bersama mbah kakung. Aku kembali flashback dalam beberapa bulan, tahun, bahkan puluhan tahun silam. Mbah kakung adalah sosok yang selalu ada sejak aku kecil. Menemaniku tumbuh dewasa hingga usiaku 24 tahun.
Beliau adalah salah satu penyemangatku mencapai cita-cita. Banyak banget kenangan dengan mbah kakung semasa hidupnya. Beliau adalah orangtuaku. Ternyata kenangan manis bersama mbah kakung juga dirasakan oleh cucu lainnya.
Menjelang pemakaman, aku mengobrol dengan kedua cucu lainnya. Di situ, mereka cerita momen membekas bersama mbah kakung. Masing-masing punya cerita yang membuat air mataku tak terbendung. Batinku berkata, "memang mbah kakung adalah sosok yang baik buat semua cucunya."
***
Selamat jalan, mbah kakung.
Doa terbaik untukmu.
Kan ku kenang pesan dan petuah darimu.
Doakan aku di sini menjadi pribadi lebih baik.
"Jadi anak yang sehat, cerdas, dan berprestasi."
Seperti doamu yang kau ucapkan pada tiap cucumu setiap berangkat sekolah.
Tak terasa sudah tujuh hari usai kepergianmu. Rasanya air mata masih mudah turun. Aku nggak boleh sedih lagi. Mbah kakung nggak pengen melihat kita sedih.
1 comments
Untuk yang ingin memulai usaha, Ide Bisnis Pernikahan
ReplyDelete