Setelah melewati awal usia 20-an, pada akhirnya aku bisa memaklumi dan mengamini apa yang dirasakan orang-orang seusia tersebut. Bisa dibilang, wajar banget kalau kamu merasa galau soal apa saja di usia awal 20-an. Aku juga pernah seperti itu, jadi it's okaaay.yang umur 23 masih bingung nyari kerja juga baru selesai patah hati dan masih porak poranda, gapapa. jutaan orang lain di dunia ini adalah manusia wajar-wajar saja dan banyak bingungnya sepertimu 🥳
— Kalis Mardiasih (@mardiasih) March 26, 2021
Misi mas, riset menunjukkan bahwa org yang sering duduk meningkatkan resiko kematian 13%. Jadi gimana kalo kita jalan aja?
— Tamara (@mata_temi) March 12, 2021
Fresh graduate, pelan-pelan. Nggak semua harus sekarang.
Buat fresh graduate, pasti ada pikiran setelah lulus berkeinginan dapat pekerjaan impian. Itu buat orang yang udah tau mau kerja di bidang apa. Bagiku, ia mendapat priviledge karena bisa memilih bidang dan jalur kerja yang diinginkan. Ia udah tau akan melamar dan mendaftar lowongan pekerjaan di mana. Aku cukup merasa priviledge karena bisa memilih bidang yang memang jadi keahlianku, yakni menulis.
Setelah lulus, aku langsung mendapat pekerjaan. Itu juga priviledge yang kualami. Nggak sedikit teman-temanku yang harus menunggu waktu relatif lama untuk mendapat pekerjaan. Dibilang langsung sebenarnya nggak juga, aku punya waktu sekitar tiga bulan untuk taken contract. Selama tiga bulan itu pula, aku masih sibuk ngerjain laporan jadi asisten peneliti di kampus. Jadi kubilang langsung karena semasa itu aku masih sibuk-sibuk.
Selama empat tahun menikmati perjalanan karier di bidang yang memang dikuasai. Meskipun akhirnya pada ujung keputusan untuk resign karena keterima pekerjaan lain. Jadi kami tahun 2020/2021 mengalami fase resign dan masuk kerja di bidang yang berbeda. Aku sempat galau dan berdiskusi dengannya. Tentunya keluhan lebih banyak keluar daripada rasa syukur atas pekerjaan baru.
Hampir semua lulusan baru pasti dituntut langsung bekerja, akan tetapi kenyataan berkata lain. Cari kerjaan nggak segampang membalikkan telapak tangan.
Seiring berjalannya waktu...
Tahun 2019, aku dan partner (kami) akhirnya mendaftar CPNS dengan alasan masing-masing. Saat itu, kami sudah LDR dan enjoy karena masih suka mencari kerja daripada bucin. Itu aku sih. HAHAHA..
Aku menikmati bekerja di Jogja sebagai editor dan freelancer, meskipun harus nge-shift dan kerja di akhir pekan. Pokoknya, saat itu aku workaholic banget. Kalau libur sampai bingung aku harus ke mana dan ngapain? Tapi dunia berubah setelah tahun 2021. APA ITU WORKAHOLIC?
Aku justru mengalami fase depresi yang bikin hidupku cuma ke klinik dan rumah sakit terus. Gara-garanya, aku keterima pekerjaan yang didambakan banyak orang, tapi aku kurang nyaman. JUJUR SAJA. AKU SAMPAI LELAH HIDUP BEGINI. RIP DIRIKU YANG BAHAGIA DAN PEKERJA KERAS.
Sekarang fokusku justru berbeda, aku ingin pekerjaan yang fleksibel. Ngerjain sambil beberes rumah, berkebun, tapi dibayar dollar adalah impianku. TAPI KEPENTOK KEADAAN. Aku makin pusing ketika partnerku ternyata juga keterima CPNS. Makin pusing mikirin, kapan bisa serumah? Sekota? Bangun tidur bikin sarapan buat dia? Oh tidak bisa. Rasanya ingin banget nyalahin keadaan, kenapa gitu kita berdua bisa lolos saat bersamaan? Kan kalau dia duluan yang lolos, aku santuy ya. Kerjaanku dulu fleksibel. Bisa WFH, bisa kerja remote. Sekarang mana ada -_-
Ketika aku bercerita dan menyalahkan keadaan, aku tahu banyak orang di luar sana akan-judging my reason. Bilangnya aku nggak bersyukur. Kurang bersyukur, kurang bersabar, kurang nerimo.
Ya, mungkin ada benarnya. Ternyata sepanjang 2021 aku belajar, kesuksesan setiap orang itu beda lho. Nggak harus jadi PNS, nggak harus berseragam, cukup nyaman menjadi diri sendiri dan nyaman dengan pekerjaan. Tak lupa sedekah dan berbahagia bersama keluarga. Karena pekerjaan, kalau kita resign, kantor bakal buka rekrutmen baru. Kalau keluarga, ya kali mau diganti.
Aku sering membandingkan pekerjaanku dengan pekerjaan partnerku as ASN. Kenapa hidupku nelangsa sekali ya saat jadi ASN dibanding partnerku? Padahal kami sama-sama ASN. RIP *sedih banget sih kalau ada yang masih mikir kerjaan PNS enak dan santai*
I Hate LDM
Tuhan, kepala-kepala, bupati, BKN, dan siapapun yang berkaitan. Tolong bantu umbi-umbian ini untuk satu kota. Udah capek aku harus ketemu, pisah, ketemu pisah. Uang akomodasi buat ketemu banyak terkuras. Punya dua dapur di kota berbeda. Kapan bisa punya rumahnya? Apalagi masih umbi-umbian.
Semua ada porsi dan waktunya. Coba positif thinking, walaupun cuma satu persen. Bismillah mutasi dong. Kalau nggak ya berikan pekerjaan yang terbaik buat aku dan keluarga kecilku. Jujur, aku capek harus minum obat dan mikirin kepala pusing terus tanpa ada alasan kuat untuk hidup. Salam penyintas kesehatan mental kecemasan yang masih berjuang karena sering ketriggered kerjaan.
Sepulang dari rumah untuk mengambil seragam kerja. Ketika membonceng partner menuju ke kosan sementara, isi kepalaku mulai riuh. Ada kegaduhan yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya. Pusing banget. Kepalaku ngobrol A, ngobrol B. Ada skenario yang ditakutkan dan membuat perasaan cemas muncul hingga men-triggered.
Sesampainya di kosan, aku mencoba menenangkan diri. It’s fine. Besok kerja lagi. Bisa yok! Emang udah jatah cuti dan izin sakitnya habis. Waktunya kembali ke rutinitas. Kata-kata tersebut kutanamkan dalam benak, namun anehnya. Aku justru kalah. Pikiran menakutkan yang begitu membuat panik dan cemas justru lebih kuat. Aku pun hanya bisa menangis. Bukan cuma itu, aku mulai mual dan muntah. Aku sudah minum obat biar tidur, nyatanya aku masih saja menangis dan mual. Batinku, “kok aku balik ke awal lagi.”
Ya, dalam benakku berkata. Kejadian ini terulang lagi. Tiap akan berangkat bekerja-aku mual, muntah, dan menangis. Seolah aku akan mendatangi dan melakukan aktivitas mengerikan yang mempertaruhkan nyawa. Melakukan aktivitas harian secara terpaksa dan seolah memaksa diri untuk tidak terjadi apa-apa. Denial ya~
Satu sisi ingin menyerah karena sudah berusaha sampai sejauh ini, namun aku bukanlah manusia yang tegas. Aku penuh pertimbangan. Mempertimbangkan omongan orang-orang terdekat. Mereka menolak keinginanku untuk berhenti. Tidak ada dukungan dari mana pun untuk keputusanku. Aku jadi iri dengan Heedo di TwentyNine TwentyOne. Dia selalu mendapat dukungan dari Bak Hyi-jin (Mon maaf kalau salah nulis nama).
Perasaan sendiri dan tidak merasa ada yang dukung, makin memperparah keinginan untuk mengakhiri hidup. Rasanya capek banget. Udah cukup aku sedih dan menangis berkepanjangan. Udah lebih dari setahun cuuuuy.
Kalau sebelumnya nangis sendiri di kamar tanpa seorang pun sadar, kali ini ada partner yang melihat dan mengamatiku. Dia panik sampai telepon ambulans. Aku yang kepalanya pening, mencoba merebut handphone-nya yang sedang menelepon ambulans. Kenapa harus ambulans? Bikin orang lain panik. Apalagi kondisi saat itu sedang tidak memungkinkan untuk menambah masalah. Sudah terlalu banyak hal yang dirisaukan, eh partner malah nambahin.
Keesokan harinya, si partner tak gentar. Tetap menelepon ambulans yang akhirnya mendampingiku ke IGD rumah sakit jiwa di ujung utara Jogja. Oh plis, pasti malah nambahin masalah dan merepotkan banyak orang. Benar dugaanku. Aku diantar bapak dan ibu partner dengan mobilnya dari Bantul ke pucuk utara. Untuk pertama kalinya jadi pasien IGD di RSJ.
IGD bukan ruangan baru bagiku. Aku pernah kecelakaan dibawa ke IGD, menemani keluarga di IGD. Melihat pasien-pasien yang kayak didiemin aja sembari nunggu keluarga atau kamar kosong. Hiks, aku di IGD cuma tiduran aja. Pala w pusing. Tenagaku habis setelah nangis mulu. Apalagi nggak doyan makan.
Rasa bersalah makin menjadi karena bapak ibu partner ikut direpotkan. Harusnya aku opname, tapi keluarga meminta untuk rawat jalan. Selama rawat jalan, kerjaan cuma tidur karena obatnya beneran buat tak berdaya. Aku yang sedang mens sampai letoy di kamar mandi untuk bebersih diri. Sendirian. Betapa orang yang sayang sama kamu, cuma dirimu sendiri. Meskipun kamu punya saudara, bapak, ibu, partner, plis sayangin dirimu dulu.
Memahami diri sendiri itu nggak gampang. Aku sampai sekarang butuh proses, apalagi konseling terakhir. Doakan aku masih punya keinginan untuk hidup dan melanjutkan aktivitas yang kurang menyenangkan. Dunia terasa melelahkan untuk dihadapi. Bagaimana caraku mengubah pandangan tersebut? Belum tahu.