Sepulang dari rumah untuk mengambil seragam kerja. Ketika membonceng partner menuju ke kosan sementara, isi kepalaku mulai riuh. Ada kegaduhan yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya. Pusing banget. Kepalaku ngobrol A, ngobrol B. Ada skenario yang ditakutkan dan membuat perasaan cemas muncul hingga men-triggered.
Sesampainya di kosan, aku mencoba menenangkan diri. It’s fine. Besok kerja lagi. Bisa yok! Emang udah jatah cuti dan izin sakitnya habis. Waktunya kembali ke rutinitas. Kata-kata tersebut kutanamkan dalam benak, namun anehnya. Aku justru kalah. Pikiran menakutkan yang begitu membuat panik dan cemas justru lebih kuat. Aku pun hanya bisa menangis. Bukan cuma itu, aku mulai mual dan muntah. Aku sudah minum obat biar tidur, nyatanya aku masih saja menangis dan mual. Batinku, “kok aku balik ke awal lagi.”
Ya, dalam benakku berkata. Kejadian ini terulang lagi. Tiap akan berangkat bekerja-aku mual, muntah, dan menangis. Seolah aku akan mendatangi dan melakukan aktivitas mengerikan yang mempertaruhkan nyawa. Melakukan aktivitas harian secara terpaksa dan seolah memaksa diri untuk tidak terjadi apa-apa. Denial ya~
Satu sisi ingin menyerah karena sudah berusaha sampai sejauh ini, namun aku bukanlah manusia yang tegas. Aku penuh pertimbangan. Mempertimbangkan omongan orang-orang terdekat. Mereka menolak keinginanku untuk berhenti. Tidak ada dukungan dari mana pun untuk keputusanku. Aku jadi iri dengan Heedo di TwentyNine TwentyOne. Dia selalu mendapat dukungan dari Bak Hyi-jin (Mon maaf kalau salah nulis nama).
Perasaan sendiri dan tidak merasa ada yang dukung, makin memperparah keinginan untuk mengakhiri hidup. Rasanya capek banget. Udah cukup aku sedih dan menangis berkepanjangan. Udah lebih dari setahun cuuuuy.
Kalau sebelumnya nangis sendiri di kamar tanpa seorang pun sadar, kali ini ada partner yang melihat dan mengamatiku. Dia panik sampai telepon ambulans. Aku yang kepalanya pening, mencoba merebut handphone-nya yang sedang menelepon ambulans. Kenapa harus ambulans? Bikin orang lain panik. Apalagi kondisi saat itu sedang tidak memungkinkan untuk menambah masalah. Sudah terlalu banyak hal yang dirisaukan, eh partner malah nambahin.
Keesokan harinya, si partner tak gentar. Tetap menelepon ambulans yang akhirnya mendampingiku ke IGD rumah sakit jiwa di ujung utara Jogja. Oh plis, pasti malah nambahin masalah dan merepotkan banyak orang. Benar dugaanku. Aku diantar bapak dan ibu partner dengan mobilnya dari Bantul ke pucuk utara. Untuk pertama kalinya jadi pasien IGD di RSJ.
IGD bukan ruangan baru bagiku. Aku pernah kecelakaan dibawa ke IGD, menemani keluarga di IGD. Melihat pasien-pasien yang kayak didiemin aja sembari nunggu keluarga atau kamar kosong. Hiks, aku di IGD cuma tiduran aja. Pala w pusing. Tenagaku habis setelah nangis mulu. Apalagi nggak doyan makan.
Rasa bersalah makin menjadi karena bapak ibu partner ikut direpotkan. Harusnya aku opname, tapi keluarga meminta untuk rawat jalan. Selama rawat jalan, kerjaan cuma tidur karena obatnya beneran buat tak berdaya. Aku yang sedang mens sampai letoy di kamar mandi untuk bebersih diri. Sendirian. Betapa orang yang sayang sama kamu, cuma dirimu sendiri. Meskipun kamu punya saudara, bapak, ibu, partner, plis sayangin dirimu dulu.
Memahami diri sendiri itu nggak gampang. Aku sampai sekarang butuh proses, apalagi konseling terakhir. Doakan aku masih punya keinginan untuk hidup dan melanjutkan aktivitas yang kurang menyenangkan. Dunia terasa melelahkan untuk dihadapi. Bagaimana caraku mengubah pandangan tersebut? Belum tahu.